THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Rabu, 18 Februari 2009

Memaknai Sportifitas

BAGI beberapa kota yang mencalonkan diri sebagai tuan rumah Olimpiade 2012, yaitu London, Paris, Madrid, dan New York, tanggal 6 Juli 2005 merupakan saat yang menegangkan. Pada hari itu tuan rumah olimpiade diputuskan. Selama hampir dua tahun mereka bersusah payah, mulai dari meyakinkan dan mencari dukungan berbagai lapisan masyarakat, membuat perencanaan, kampanye melalui berbagai media, sampai lobi dengan negara anggota IOC.

Di kota Paris, sejak tahun 2003, suasana olimpiade terasa di mana-mana. Di menara Eiffel, logo yang akan digunakan oleh Paris , telah dipasang. Demikian pula di tempat strategis lainnya, seperti Place de la Concorde, Champs-Elysees, dsb. Kegiatan yang cukup menarik, adalah disulapnya venue Champs-Elysees pada 5 Juni 2005 menjadi arena seluruh cabor yang akan dipertandingkan di olimpiade. Untuk persiapan selama dua tahun, ratusan juta euro dikeluarkan.

Dengan perencanaan yang begitu matang, wajar apabila pemerintah dan masyarakat Paris yakin akan terpilih. Dari sisi dukungan pemerintah, Jack Chirac pun terbang ke Singapura untuk melakukan lobi secara langsung kepada para delegasi anggota IOC.

Pada saat diumumkan, masyarakat berkumpul di beberapa tempat strategis dan pesta kemenangan dirancang. Ketika hasilnya diumumkan dan ternyata Paris tidak terpilih, kekecewaan merebak. Namun, media hanya sekitar dua hari memberitakan kekalahan tersebut. Pernyataan presiden, wali kota, dan ketua perencana hampir senada. Intinya, Prancis sudah melakukan berbagai upaya maksimal, kemudian hasilnya gagal, semua orang harus berbesar hati. Ada pula yang memberikan analisa, bahwa dari sisi persiapan, sarana, dan prasarana Paris jauh lebih baik dari kota-kota lainnya, tetapi kurang lobi.

Orang Prancis berprinsip bahwa persiapan, tahapan, dan proses yang baik dan benar, jauh lebih penting ketimbang lobi. Lobi (yang tidak baik tentunya) dianggap hanya merupakan pendekatan sesaat yang bisa memanipulasi kenyataan sebenarnya.

Apa yang terjadi dengan Paris, menarik untuk diproyeksikan di Indonesia. Ada beberapa pelajaran berharga. Pertama, untuk melaksanakan sesuatu kegiatan seharusnya direncanakan dengan baik. Tahun 2012 masih tujuh tahun, tetapi perencanaan sudah dimulai jauh hari. Kalau di Indonesia, ada banyak hal yang dilaksanakan dengan metoda SKS (sistem kebut semalam). Karena itu janganlah heran apabila hasilnya tak maksimal.

Kedua, tentang lobi. Sejauh apa yang dilobikan sesuai dengan kenyataan, maka lobi itu baik-baik saja. Manipulasi materi lobi, hanya akan efektif bagi seseorang atau kelompok orang yang mata dan hatinya terbelenggu oleh subjektivitas dan memiliki agenda-agenda lain di luar objektivitas yang berlaku umum.

Ketiga, kalah menang di dalam berkompetisi adalah biasa, tinggal saja bagaimana menyikapinya. Di Indonesia, apabila seseorang kalah di dalam suatu pertandingan atau pemilihan, kemudian timbul ketidakpuasan dari orang-orang dan pendukung yang kalah tersebut. Dalam kasus sepak bola, apabila timnya kalah, pemain, suporter, bis lawan, wasit, dan fasilitas umum lainnya bisa menjadi sasaran.

Menyimak hal tersebut di atas, di negara kita, jangan-jangan ada yang salah di dalam membentuk sportivitas. Ada kesan bahwa pemahaman berolah raga hanyalah untuk kesehatan dan prestasi. Kecenderungan hanya kepada pencapaian prestasi, di antaranya bisa terlihat dari jumlah dana yang dikeluarkan, bonus yang diberikan kepada juara, serta ukuran keberhasilan pembangunan olah raga yang seringkali dilihat dari berapa cabang yang diikuti di berbagai event nasional, regional atau internasional, berapa medali emas yang diperoleh dsb.

Celakanya, untuk tujuan prestasi ini pun kadangkala tidak diiringi dengan sportivitas. Kasus yang selalu mencuat menjelang pekan olah raga (daerah atau nasional), adalah rebutan atlet, menyuap wasit, dsb. Karena itu, tujuan olah raga yang paling penting, seperti melatih kebersamaan, disiplin waktu, disiplin latihan, penegakan aturan, keadilan, kejujuran, menerima menang kalah, melatih mental, dsb. perlu dihidupkan kembali.

Motto ''men sana in corporesano'' yang artinya di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang kuat, seharusnya dimaknai di dalam konteks ini. Tujuan dari olah raga selain untuk kesehatan, juga untuk membangun jiwa agar kehidupan berbangsa dan bernegara berjalan dengan yang lebih baik. Sikap orang Prancis di dalam menerima kekalahan, tidak terlepas dari pendidikan olah raga di sekolah.

Penulis, Rektor Universitas Padjadjaran.

0 komentar: